Restumu Ibu

Oleh: Destha Edogawa
 
Udah! Kalau masalah berpakaian, Ibu gak pernah akur sama kamu!! Brakk!!! Ibu membanting pintu kamarnya setelah memperlihatkan seuntai bening jatuh dari matanya. Astaghfirullahaladziim… Betapa teganya diriku. Mengapa suaraku tiba-tiba ikut meninggi? Apa daya, emosi tengah menguasaiku. Aku hanya mampu diam, menahan amarah atas ketidakpahaman Ibu tentang apa yang kuanggap benar dan atas ketidakmampuanku menyampaikan kebenaran itu. Yah, Ibu membelikanku sebuah kaos berwarna putih tulang, lengan panjang, dan modis. Manis sekali, aku pun menyukainya. Tetapi, saat aku memakainya dan ia begitu ketat di badanku, aku urung memilikinya. Sudah beberapa kali hal ini terjadi. Sungguh aku tidak tega membayangkan perasaan Ibu kala memilih baju-baju itu untuk anak perempuan satu-satunya.
Ibu Cuma ingin kamu seperti anak-anak lain, berjilbab yang rapi tapi modis. Coba lihat! Mba Maya juga rajin ngaji, cerdas, dan bacaan Qur’annya bagus. Tapi pake jilbabnya juga modis kok!! Mba Kiki tuh! Cantik berpakaiannya, tidak seperti emak-emak!! Suatu saat Ibu membandingkanku dengan keponakannya yang lain. Oh, aku hanya bisa menahan gelora dalam hatiku. Ya Allah, kenapa harus Mba Maya? Mba Kiki? Yang Ibu ingin aku jadikan panutan? Kenapa bukan Fatimah? Aisyah? Atau Ibunda Khadijah?
Selalu itu yang aku curhatkan kepada murabbiyahku ketika kembali dari liburan di rumah. Semenjak kuliah dan mengenal teman-teman di LDK, aku memang berubah. Jilbabku menjadi lebih panjang dan konsisten. Dulu, aku berjilbab karena memang terbiasa. Sekolah dasar di MI yang mewajibkan siswinya berjilbab dan itu terbawa hingga aku SMA. Hanya saja, aku mengenakan jilbab saat ke sekolah. Ketika pergi keluar, aku menanggalkannya.
“Istiqamah ya dek, wajar jika orang tua mengkhawatirkan perubahan pada anaknya. Apalagi sekarang marak terjadi fitnah bagi jilbaber, dikira aliran sesat dan sebagainya. Hal terpenting adalah bagaimana perubahan zahir kita dibarengi dengan perilaku yang bertambah baik. Kita memang harus berkorban lebih. Lebih awal bangunnya supaya bisa bantu-bantu lebih rajin. Lebih santun lagi bicaranya, dan lebih patuh selama bukan untuk maksiat.” Pesan Mba Hanin.
“Syukran ya Mba.” Kataku sambil tersenyum. Lega rasanya jika telah mendengar taujih dari Mba Hanin, apalagi solusi beliau kongkret sekali. Aku harus menunjukkan indahnya Islam lewat perilaku ku. Bukankah dakwah yang ampuh adalah dengan teladan? Bukankah dakwah lebih utama kepada orang-orang terdekat? Kepada keluarga?
Sekarang adalah liburan semester kelima. Besok Aku mudik lagi ke rumah. Setelah halaqah ditutup, aku memboncengi Fitri menuju asrama mahasiswi. Fitri adalah sahabatku semenjak semester awal kuliah. Sebelum menginjakkan kaki di Purwokerto ini, aku pernah berdoa agar di perantauan nanti, aku diberikan teman yang baik, sehingga aku bisa menjadi baik pula. Begitulah, kemudian Allah mempertemukanku dengan Fitri. Ia seorang akhwat anggun nan tangguh. Ia tidak segan menegurku jika aku salah. Aku sangat senang apabila ia menasehatiku. Memang tidak enak sih, tapi hati kecilku selalu membenarkan nasihatnya. Maka, tak ada alasanku menolak nasihat itu. “Oleh-olehnya ya Git!” Katanya setelah aku pamit, “Insya Allah. Assalamu’alaikum…” Balasku sambil melaju.
***
Aku pulang membawa misi tentu saja, mengenai lebih baik dan lebih lebih lainnya. Usai Shalat subuh, aku mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari mencuci piring, menyapu, mengepel, dan menyiapkan minum teh orang serumah. Kecuali mencuci baju yang memang dikerjakan orang luar. Ibu yang keluar kamar sambil mengantuk berkata, “Baru pulang ke rumah kan capek nak?”
“Gak papa Bu, mumpung aku di rumah.” Kataku. Hal itu kulakukan setiap hari, memang melelahkan. Ketika aku mulai capek, aku selalu membisikkan kepada diriku sendiri salah satu judul materi mentoring dulu “Birrul walidaini!”
Siang hari, aku duduk-duduk di depan tivi bersama Ibu. Mengobrol tentang kuliah dan kegiatan-kegiatanku. Aku ingat, Mba Hanin pernah berpesan agar kita lebih terbuka kepada orang tua tentang kegiatan kita. Tujuannya adalah agar orang tua tahu, kita tidak melakukan kegiatan aneh atau menyimpang. “Oh, terus kamu ngajinya di mana? Kerudungnya panjang-panjang juga kayak kamu ya? Alirannya apa?” Sampai juga pada pertanyaan itu.
“Tempatnya gantian Bu, di tempat Thea, Ati, atau rumah Mba Hanin. Kadang semua kelompok digabung jadi rame, seneng deh Bu. Gak ada aliran-aliran Bu, kita sama kok, ngajinya Al-Qur’an dan Hadits.” Aku menambahkan penekanan pada jawaban terakhirku.
“Eh, tau gak? Ternyata pake kerudung yang bener tuh kayak kamu kata Bu Wasilah.” Kata Ibu sambil malu-malu.
“Bu Wasilah siapa?”
“Itu, guru ngaji di mushalla. Kan ibu sekarang ngaji bareng ibu-ibu lain.”
“Jadi, Ibu ngijinin aku pake kerudung kayak gini dong?” Tanyaku.
“Yang biasa ajalah.” Ibu tidak mau kalah. Aku cuma tersenyum.
***
Aku sudah dimutasi dari Purwokerto karena memang studiku telah usai. Entah yang keberapa kali halaqah berjalan, kali ini giliran rumahku menjadi tempat berkumpul majelis kami. Aku memilihkan tempat di lantai atas. Tempat yang tenang dan nyaman. Ibu menerima mereka dengan ramah.
Halaqah kami dimulai ba’da Zhuhur dan berakhir menjelang Maghrib. Setelah semua kawanku pergi, Ibu tiba-tiba mendekat ke arahku, ”Ibu juga ikutan denger tadi lho Git.” Kata Ibu sambil tertawa kecil, aku lumayan terkejut. Oh, Ibu tadi memata-matai kami (dalam artian baik).
“Teh Eka pinter ya… Materinya bagus dan gak aneh-aneh.” Tambah Ibu
“Ya enggak aneh-aneh Bu.” Aku berkomentar sambil membantu membereskan tikar.
“Ibu gak perlu khawatir lagi deh. Besok-besok ngajinya di sini lagi aja Git. Biar didoain rumahnya dan berkah.” Kata Ibu dengan tulus.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/19624/restumu-ibu/#ixzz1rz3Oc94j

Restumu Ibu Restumu Ibu Reviewed by Unknown on 11:07 am Rating: 5

No comments:

Responsive Ads Here
Powered by Blogger.