Tanggal 21 April begitu akrab dengan
RA Kartini yang dianggap sebagai perempuan pelopor kebangkitan
perempuan Indonesia. Sebagai penghormatan atas wujud perjuangan kaum
perempuan, simbol persamaan gender, dan emansipasi wanita. Kartini
dipandang sebagai pahlawan, bukan dengan tindakan kekerasan, tapi tetap
radikal, demi memperjuangkan kebenaran yang dipercayainya.
Pandangan masyarakat, memang mengagungkan Kartini sebagai perempuan pertama yang membangkitkan semangat dan harkat perempuan pribumi. Namun di tempat lain dari belahan negeri ini ada perempuan-perempuan lainnya yang berjuang untuk bangsa ini, membangkitkan harkat perempuan. Sebut saja Dewi Sartika yang sudah membangun sekolah yang dinamakan Sakolah Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat untuk para rakyat jelata. Rohana Kudus perempuan Padang yang melakukan hal yang sama di kampung halamannya dengan mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), bahkan beliau tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Inilah bentuk nyata mengangkat marwah perempuan.
Di Sulawesi Selatan ada pula Siti Aisyah We Tenriolle. Perempuan yang dikenal sebagai ahli pemerintahan, namun mahir pula dalam kesusastraan. Beliau juga mendirikan sekolah pertama di Ternate. Lain lagi dengan Cut Nyak Dien, yang langsung berjuang bersama Teuku Umar di medan pertempuran, melawan pasukan penjajah, yang akhirnya meninggal karena sakit di pengasingannya di Sumedang pada tanggal 6 November 1908. Mungkin mereka jarang kita sebut namanya, atau bahkan sama sekali tidak mengenal mereka, namun perlu kita ketahui, begitu banyaknya Srikandi Indonesia yang sudah sejak lama menjadi pilar kebangkitan perempuan. Agaknya perlu bagi kita untuk lebih mengenal sejarah, karena tak hanya Kartini yang memiliki peran terhadap perempuan, walau saat ini beliaulah yang dianggap menjadi pilar kebangkitan perempuan.
Beberapa dekade setelah beliau meninggal, pergerakan kaum perempuan semakin terasa dan membawa dampak yang semakin besar. Tidak hanya dampak yang mengarah kepada hal positif, tak jarang pula menjadi rujukan kearah negatif. Saat ini, seorang perempuan memimpin sebuah perusahaan, memiliki karier yang menjulang, atau bahkan menjadi pejabat penting bukanlah suatu hal yang aneh. Namun amat disayangkan jika emansipasi wanita menjadi cikal pelarian perempuan dari fitrahnya yang sebenarnya. Menjadikannya sebagai pangkal untuk mendapatkan kebebasan yang membenarkan segala tindakan yang mereka anggap benar.
Padahal jauh sebelumnya kesetaraan hak dan kesempatan bagi perempuan telah dicontohkan sejak zaman Rasulullah. Pada masanya, perempuan telah aktif di semua bidang. Dalam ranah pendidikan dikenal As Syifa’ binti Abdullah, seorang sahabiah yang hafal banyak hadits Rasulullah, bahkan pada saat Kekhalifahan dipimpin oleh Umar Ibnu Khattab, beliau dipercayai sebagai Manager marketing pasar. Di ranah publik, tidak adanya larangan perempuan untuk aktif di bidang militer, yang tidak hanya mengandalkan kematangan dan kepiawaian konsep dan teori namun juga fisik. Di antara aktivis militer pada masa Rasulullah saw adalah Asma’ binti Yazid dan Ummu Haram.
Di dalam Islam sendiri, sebagaimana yang tertera di dalam QS. Al Ahzab: 35, perempuan memiliki harkat yang setara dengan laki-laki untuk mengemban kekhalifahan di bumi, melakukan amal ma’ruf nahi munkar, serta memiliki potensi instrinsik sebagai Ibu Generasi. Sehingga, seorang perempuan yang sukses adalah perempuan yang paham terhadap agamanya, sukses mendidik putra-putrinya, dan dapat mendukung aktivitas suami yang baik, serta dapat bermanfaat bagi lingkungannya.
Signifikansi peranan perempuan terhadap pembangunan harus dilihat dari seberapa jauh ia mengarahkan segala potensi dan sifat keibuannya dalam menyumbangkan perbaikan kehidupan masyarakat di negeri ini. Intinya semua yang ada di dunia ini harus seimbang. Tanpa keseimbangan, kehidupan akan menjadi kacau. Hak, kesempatan dan kebebasan yang diberikan kepada perempuan dalam berperan menjadi sesuatu yang dicita-citakannya harus diimbangi dengan kewajibannya dalam menjalankan roda domestik rumah tangganya dengan baik pula.
Di sinilah letak kewajiban bagi seorang perempuan untuk menuntut ilmu serta mengembangkan wawasan dan potensinya, karena Islam menghormati semua potensi manusia, tetapi ia memberi porsi yang tepat untuk masing-masing potensi tersebut, tidak berkurang dari kadar yang seharusnya dan tidak melebihi nilai yang dimiliki potensi tersebut, serta memberdayakan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia di muka bumi.
Pandangan masyarakat, memang mengagungkan Kartini sebagai perempuan pertama yang membangkitkan semangat dan harkat perempuan pribumi. Namun di tempat lain dari belahan negeri ini ada perempuan-perempuan lainnya yang berjuang untuk bangsa ini, membangkitkan harkat perempuan. Sebut saja Dewi Sartika yang sudah membangun sekolah yang dinamakan Sakolah Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat untuk para rakyat jelata. Rohana Kudus perempuan Padang yang melakukan hal yang sama di kampung halamannya dengan mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), bahkan beliau tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Inilah bentuk nyata mengangkat marwah perempuan.
Di Sulawesi Selatan ada pula Siti Aisyah We Tenriolle. Perempuan yang dikenal sebagai ahli pemerintahan, namun mahir pula dalam kesusastraan. Beliau juga mendirikan sekolah pertama di Ternate. Lain lagi dengan Cut Nyak Dien, yang langsung berjuang bersama Teuku Umar di medan pertempuran, melawan pasukan penjajah, yang akhirnya meninggal karena sakit di pengasingannya di Sumedang pada tanggal 6 November 1908. Mungkin mereka jarang kita sebut namanya, atau bahkan sama sekali tidak mengenal mereka, namun perlu kita ketahui, begitu banyaknya Srikandi Indonesia yang sudah sejak lama menjadi pilar kebangkitan perempuan. Agaknya perlu bagi kita untuk lebih mengenal sejarah, karena tak hanya Kartini yang memiliki peran terhadap perempuan, walau saat ini beliaulah yang dianggap menjadi pilar kebangkitan perempuan.
Beberapa dekade setelah beliau meninggal, pergerakan kaum perempuan semakin terasa dan membawa dampak yang semakin besar. Tidak hanya dampak yang mengarah kepada hal positif, tak jarang pula menjadi rujukan kearah negatif. Saat ini, seorang perempuan memimpin sebuah perusahaan, memiliki karier yang menjulang, atau bahkan menjadi pejabat penting bukanlah suatu hal yang aneh. Namun amat disayangkan jika emansipasi wanita menjadi cikal pelarian perempuan dari fitrahnya yang sebenarnya. Menjadikannya sebagai pangkal untuk mendapatkan kebebasan yang membenarkan segala tindakan yang mereka anggap benar.
Padahal jauh sebelumnya kesetaraan hak dan kesempatan bagi perempuan telah dicontohkan sejak zaman Rasulullah. Pada masanya, perempuan telah aktif di semua bidang. Dalam ranah pendidikan dikenal As Syifa’ binti Abdullah, seorang sahabiah yang hafal banyak hadits Rasulullah, bahkan pada saat Kekhalifahan dipimpin oleh Umar Ibnu Khattab, beliau dipercayai sebagai Manager marketing pasar. Di ranah publik, tidak adanya larangan perempuan untuk aktif di bidang militer, yang tidak hanya mengandalkan kematangan dan kepiawaian konsep dan teori namun juga fisik. Di antara aktivis militer pada masa Rasulullah saw adalah Asma’ binti Yazid dan Ummu Haram.
Di dalam Islam sendiri, sebagaimana yang tertera di dalam QS. Al Ahzab: 35, perempuan memiliki harkat yang setara dengan laki-laki untuk mengemban kekhalifahan di bumi, melakukan amal ma’ruf nahi munkar, serta memiliki potensi instrinsik sebagai Ibu Generasi. Sehingga, seorang perempuan yang sukses adalah perempuan yang paham terhadap agamanya, sukses mendidik putra-putrinya, dan dapat mendukung aktivitas suami yang baik, serta dapat bermanfaat bagi lingkungannya.
Signifikansi peranan perempuan terhadap pembangunan harus dilihat dari seberapa jauh ia mengarahkan segala potensi dan sifat keibuannya dalam menyumbangkan perbaikan kehidupan masyarakat di negeri ini. Intinya semua yang ada di dunia ini harus seimbang. Tanpa keseimbangan, kehidupan akan menjadi kacau. Hak, kesempatan dan kebebasan yang diberikan kepada perempuan dalam berperan menjadi sesuatu yang dicita-citakannya harus diimbangi dengan kewajibannya dalam menjalankan roda domestik rumah tangganya dengan baik pula.
Di sinilah letak kewajiban bagi seorang perempuan untuk menuntut ilmu serta mengembangkan wawasan dan potensinya, karena Islam menghormati semua potensi manusia, tetapi ia memberi porsi yang tepat untuk masing-masing potensi tersebut, tidak berkurang dari kadar yang seharusnya dan tidak melebihi nilai yang dimiliki potensi tersebut, serta memberdayakan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia di muka bumi.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/04/19969/mencari-arti-kebebasan-yang-sesungguhnya/#ixzz1w5I3xb55
Mencari Arti Kebebasan yang Sesungguhnya
Reviewed by Unknown
on
10:31 pm
Rating:
No comments:
Post a Comment