Harapan Jauh di Depan untuk Bangsa



Layaknya sebuah panorama indah pegunungan, mari mulai tulisan ini dengan sedikit sentuhan pemanis rasa. Tulisan ini terinspirasi dari sebuah film lama yang menceritakan kehidupan jalanan anak-anak kota Jakarta. Tentu pembaca sekalian mungkin telah mengetahui, ‘Alangkah Lucunya Negeri ini’. Sebuah fragmen kehidupan yang kerapkali terlihat mengenai anak-anak yang beraksi dengan lihainya mendapatkan barang-barang yang mereka sukai. Khususnya barang kotak terbuat dari kulit berisi lembaran-lembaran uang. Tapi, seringkali mereka tak mendapatkan harapan yang mereka inginkan.
Ini tentang kepedulian. Bukankah manusia akan segera binasa manakala kepekaan sosial meluruh? Ini bisa membuat manusia menurunkan derajat mereka, sama seperti hewan! Hey, akankah negeri ini menjadi besar dengan lalat busuk yang masih berterbangan bahagia? Lihatlah diri kita! Kita ini hebat. Melebihi kemampuan komputer paling canggih yang akan ada. Namun, dimana rasa itu? Kepedulian dan kepekaan sosial telah hilang ditelan zaman. Modernitas hanya semakin memadatkan rasa individualistik. Tak ada empati yang menghiasi kehidupan bermasyarakat.

Mari bersama kembali melihat dasar hukum negara ini. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat 1 menyebutkan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Amanah konstitusi ini sudah benar-benar jelas disampaikan. Bahkan kata ‘dipelihara’ disini tidak hanya dipahami dengan pemaknaan dangkal. Makna kata tersebut menembus ruang dan waktu. Tanpa ada satu pun sekat yang dapat menghalanginya. Ia dimaknakan bahwasanya mereka, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara jiwa, raga, akal, dan kehidupannya. Tak hanya itu. Akal dan potensi mereka harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Kemarin. Saat ini. Dan waktu yang akan datang. Mereka senantiasa dipelihara untuk mencapai kebahagian yang setiap manusia harapkan.

Selanjutnya mengenai kehidupan fakir miskin dan anak-anak terlantar, seyogyanya dibahas dengan amanah konstitusi yang berhubungan. “Bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan,” (Pasal 27 ayat 2 UUD ’45). Realitas kehidupan masyarakat saat ini sudah jauh dari yang diharapkan. Cobalah menengok sejenak kehidupan anak-anak itu. Pernah suatu ketika tersebutlah seorang anak berumur sekitar 6 tahun. Dapat dilihat anak tersebut menjajakan dagangan asongan di gendongannya. Peluh dan keringat sudah sejak lama keluar dari tubuhnya. Di sekelilingnya terlihat dengan kontras sekali mobil-mobil mewah berjejer menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Ini contoh pertama yang menunjukkan bahwa kehidupan anak jalanan sama sekali berbeda.

Kisah yang kedua. Rekonstruksi kembali kehidupan awal anak-anak dalam film ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’. Telah diketahui bahwa mereka mencuri uang dan barang milik orang lain. Tak ayal. Aksi mereka sebenarnya diketahui orang-orang tertentu dan sudah meresahkan masyarakat di sekitar mereka. Orang-orang itu hanya melihat dan menyaksikan. Tapi, tidak peduli dan peka bahwa perilaku yang anak-anak itu lakukan adalah salah. Mereka melakukan tindakan terhadap anak-anak tersebut tanpa mendidik dengan akhlak yang baik.

Dua contoh realita diatas cukup menjelaskan ada masalah dalam negeri ini. Tidak! Jangan hanya memaknai tulisan ini dalam sudut pandang kerakyatan saja. Apalagi secara parsial dan frontal mengkritik habis kerja pemerintah negeri ini. Bahkan sebenarnya tulisan ini terbentuk tanpa menyalahkan pihak tertentu. Tulisan ini bisa ada di depan pembaca sekalian tak lain hanyalah karena satu alasan. Yaitu karena kepedulian dan rasa kepekaan itu mencuat dan berkembang yang membuat hati ini risih dengan masalah negeri yang tak kunjung selesai.

Kemudian yang perlu diketahui ada satu masalah inti yang tak bisa terselesaikan hingga saat ini. Yaitu perdebatan dan saling melemparkan argumentasi yang seringkali muncul setiap ada masalah yang terjadi. Dan masalah inti ini sebenarnya dapat terselesaikan dengan menyeluruh baik.

Kita membutuhkan sebuah rekonsialisasi. Tidak hanya membicarakan masalah yang terjadi. Tetapi berpikir dan duduk bersama berdiskusi terhadap suatu masalah. Dan itu harus seharusnya diyakini dapat terselesaikan dengan baik. Mari berhenti sejenak dan memikirkan hal ini. Bukankah duduk bersama mendiskusikan sebuah solusi jauh lebih baik daripada memperdebatkan masalah yang sedang terjadi? Dengan begini anak-anak itu bisa mendapatkan kehidupan yang layak dalam mengembangkan potensi mereka masing-masing. Sesuai amanah dasar negara dan konstitusi yang dibuat oleh pemimpin-pemimpin pendahulu negeri. Pada akhirnya akan terbentuk kehidupan sosial kemasyarakatan yang padu. Tentu itu bisa terjadi dengan komitmen utuh yang harus dimiliki setiap orang.

Kehidupan di negeri ini akhirnya berjalan dengan bahagia. Tunggu dulu! Itu masih menjadi harapan bagi kita. Tetapi kita peduli! Ya! Kita peduli dengan negeri ini! Karena INDONESIA memang kita pikirkan!
KAMI PEDULI. KAMU?

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/20155/harapan-jauh-di-depan/#ixzz1ymJFCVDQ
Harapan Jauh di Depan untuk Bangsa Harapan Jauh di Depan untuk Bangsa Reviewed by Unknown on 12:17 pm Rating: 5

No comments:

Responsive Ads Here
Powered by Blogger.