LEBARAN mungkin takkan lengkap tanpa
petasan. Begitu pula yang dirasakan bocah kecil Kusno di Mojokerto. Saat
itu, menjelang lebaran, dia hanya bisa mengintip, dari lubang udara
kecil pada dinding bambu kamarnya, teman-temannya bermain petasan.
Hatinya pilu.
“Dari tahun ke tahun aku selalu berharap-harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mercon,” keluhnya.
Betapa girang hatinya ketika seorang
kenalan ayahnya memberi hadiah berupa petasan. Itulah hadiah terindah
yang pernah diterimanya, dan takkan dilupakan Kusno kecil selamanya.
Kusno, bocah kecil itu, adalah Sukarno, proklamator dan presiden pertama
Indonesia.
Pengalaman masa kecil Sukarno, seperti dikisahkan S. Kusbiono dalam Bung Karno: Bapak Proklamasi Republik Indonesia,
menunjukkan betapa petasan sudah menjadi permainan anak-anak selama
Ramadan dan Lebaran. Hingga kini, membakar petasan seolah sudah menjadi
tradisi. Bunyinya yang memekakkan telinga justru menjadi daya tarik.
Tradisi membakar petasan, menurut legenda
yang tersebar di Cina, sudah dimulai sejak pemerintahan Dinasti Han
pada 200 SM, jauh sebelum penemuan bubuk mesiu. Ini berhubungan dengan
sosok makluk gunung bernama Nian. Setiap tahun baru Cina, Nian keluar
gunung, mengganggu perayaan tahun baru. Nian hendak memakan mereka!
Untuk mengusir Nian, penduduk kemudian membuat suara ledakan dari bambu,
yang mereka sebut baouzhu. Sejak itu petasan dipakai dalam setiap perayaan maupun festival di Cina, termasuk Imlek atau tahun baru Cina.
Petasan kemudian berkembang dengan
penemuan bubuk mesiu pada era Dinasti Sung (960-1279) oleh seorang
pendeta bernama Li Tian yang tinggal dekat kota Liu Yang di Provinsi
Hunan. Saat itu pula didirikan pabrik petasan yang menjadi dasar
pembuatan kembang api, yang memancarkan warna-warni dan pijar-pijar api
di angkasa. Sampai sekarang Provinsi Hunan masih dikenal sebagai
produsen petasan dunia.
Petasan lalu mengalami perkembangan. Tak
lagi menggunakan bambu tapi gulungan kertas. Ia juga merambah Eropa
melalui Marcopolo yang membawa beberapa petasan Cina ke Italia pada
1292. Pada masa Renaissance, bangsa Italia mengembangkan kembang api
dengan warna-warni yang lebih memikat sebagai bagian dari perayaan seni
dan tradisi masyarakat Eropa. Italia dianggap sebagai negara Eropa
pertama yang memproduksi petasan dan kembang api.
“Italia memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan petasan modern di dunia,” tulis John Roach dalam National Geographic News, 4 Juli 2003.
Di Indonesia, kuat dugaan petasan dibawa
para pedagang Cina di Nusantara. Bahaya petasan membuat penguasa VOC
pada 1650 mengeluarkan larangan membakar petasan terutama di bulan-bulan
kemarau seperti Desember, Januari, dan Februari. Petasan dianggap
memicu kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah, serta
rumah penduduk yang umumnya masih terbuat dari bambu dan atap rumbia.
Alasan lain yaitu faktor keamanan, penguasa VOC sulit membedakan bunyi
ledakan petasan dengan letusan senjata api.
Ketakutan VOC bisa dipahami karena orang-orang Cina, sebagaimana ditulis Bakdi Soemanto dalam buku Cerita Rakyat dari Surakarta,
pernah menggunakan petasan sebagai senjata perlawanan. Ceritanya, pada
30 Juni 1742, orang-orang Cina di Surakarta merasa tak puas dengan
perlakuan sewenang-wenang pengausa terhadap orang-orang Cina di Batavia.
Mereka melawan. Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang saat itu memihak
Belanda, mengirimkan pasukan keraton untuk meredam perlawanan itu tapi
tak berhasil. Pasalnya, orang-orang Cina menggunakan petasan! Banyak
anggota pasukan keraton lari terbirit-birit; mengira bunyi senapan.
Kebingungan juga melanda pasukan kompeni.
Larangan serupa juga diberlakukan
pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka. Tapi
kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit terbendung, terlebih saat
perayaan Tahun Baru, Imlek, dan Lebaran, juga dalam tradisi masyarakat.
Dalam pesta-pesta hajat seperti khitanan, perkawinan, dan maulidan orang
Betawi, misalnya, petasan meramaikan suasana. Sejarawan Alwi Shahab
menduga tradisi membakar petasan itu berasal dari tradisi orang-orang
Cina yang bermukim di Jakarta. Orang-orang Cina tempo dulu biasa
menggunakan petasan sebagai alat komunikasi untuk mengabarkan adanya
pesta atau suatu acara besar. Rentetan bunyi petasan dalam sebuah pesta
hajat dapat dijadikan sebagai simbol status sosial seseorang di
masyarakat. Ia juga menjadi penanda rasa syukur.
Tapi petasan pernah menjadi persoalan
politik yang pelik. Ceritanya, pemerintah Jakarta membikin “pesta
petasan” di Jalan Thamrin pada malam Tahun Baru tahun 1971. Gubernur
Jakarta Ali Sadikin menyulut petasan sebagai tanda dimulainya “pesta
petasan”. Berton-ton mercon dibakar malam itu. Sialnya, korban
berjatuhan. Seperti ditulis Tempo, 13 November 1971, 50-60
orang diangkut ke kamar mayat, bangsal-bangsal bedah, dan poliklinik.
Seorang warga Amerika juga menjadi korban dan dilarikan ke rumah sakit.
Presiden Soeharto kemudian turun tangan,
apalagi Idul Fitri akan segera tiba. Dalam Sidang Kabinet Paripurna 12
Oktober 1971, presiden mengeluarkan serangkaian larangan dan instruksi
khusus soal petasan. Hanya petasan jenis "cabe rawit" dan "lombok merah"
yang diperbolehkan; itu pun harus bikinan dalam negeri –dengan alasan
menghemat devisa negara. Menteri Dalam Negeri Amir Machmud lalu
mengirimkan kawat kepada gubernur seluruh Indonesia, antara lain tentang
ukuran mercon yang diizinkan: “Tidak boleh lebih panjang dari 8 cm,
tidak boleh lebih lebar dari garis tengah 1 cm, dan isinya tidak boleh
berat dari 10 gram.” Amir Machmud juga tak lagi mengeluarkan izin impor
mercon. Kepala Polisi RI Komjen Polisi Drs Moh. Hasan menginstruksikan
semua pejabat polisi tertinggi di setiap propinsi untuk menertibkan
pemasangan dan pembuatan mercon.
Tempo juga melaporkan bagaimana
para pemimpin agama sudah kewalahan melarang petasan. Bahkan Hamka
hingga menteri agama pernah mencarikan ayat maupun hadist yang mencegah
orang membakar mercon. Imron Rosjadi SH, ketua IV NU, pernah pula
melarang orang Islam menyulut mercon dalam sebuah khotbah dua tahun
sebelumnya di Masjid Istiqlal, “tapi orang-orang melototkan matanya pada
saya.” Karena itulah, pada 22 Oktober 1971, bersama Jenderal Maraden
Panggabean selaku Panglima ABRI, Machmud berseru: "Pemasangan petasan
bukanlah suatu keharusan agama, pemasangan petasan hanyalah suatu
penghamburan uang yang tak berguna," tanpa mengutip ayat Alquran atau
kitab suci lainnya. Seruan itu disiarkan oleh RRI dan pers ibukota.
Polisi merazia penjual dan pemilik
petasan, memusnahkan banyak petasan, tapi petasan impor tetap saja masuk
lewat pelabuhan. Produsen dan penjual petasan juga diam-diam
menjualnya. Setiap tahun, sekalipun ada larangan, razia, korban juga
selalu berjatuhan, petasan masih mewarnai suasana perayaan di Indonesia,
hingga kini.
Sumber: Yahoo
Sejarah (Asal - Usul) Petasan
Reviewed by Unknown
on
6:45 am
Rating:
No comments:
Post a Comment